Cuti IRT

Assalamualaikum..

Hai.. ini Menik

Tumben ngepost lagi ? Biasanya cuma setahun sekali 🤣

Iya.. soalnya saya mau cerita kalo habis cuti. Cuti IRT.

Ngapain aja ?

Tiap tahun saya suka minta cuti ke suami. Cuti sebagai IRT alias Ibu Rumah Tangga. Biasanya saya gunakan untuk keluar kota bareng temen-temen. Lepasin semua kemumetan di rumah selama beberapa hari (paling lama 4 hari sih, tapi paling sering cuma 2 hari 🤭)

Tahun ini, berhubung pandemic melanda seluruh dunia, rencana itu gagal. Cuti batal. Oke. Fine. Saya nrimo.

Ndilalah tiba-tiba saya dipaksa cuti panjang. Ga usah masak. Ga usah umbah-umbah. Ga perlu ngurusin rumah. Ga boleh mikir aneh-aneh. Harus hepi. Harus sehat. Minum vitamin banyak. Rajin berjemur.

Lho kok, mirip….

Yes. Saya terpaksa cuti karena saya positif tertular virus Covid 19.

Yuk, saya ceritain kronologisnya…

12 September : Mulai merasa ada yang aneh. Saat masak kok indera perasa ndak nangkep rasa masakan. Begitupun dengan bau. Biasanya habis mandi oles essential oil, ketika dihirup baunya kok tidak berbau. Hanya hangatnya yang terasa.

13 September : Mulai makin ga jelas. Ga pilek atau batuk tp ada yg nyumbat di ujung hidung. Memutuskan stop masak daripada ga jelas.

14 September : Melakukan rapid test di RS terdekat. Hasil non reaktif. Tapi diri tetep merasa ada yang aneh. Mampir ke sekolah anak untuk mengumpulkan tugas.

16 September : Ke salah satu Swalayan untuk belanja bulanan. Besoknya dpt kabar bahwa Swalayan tersebut ditutup karenaa ada karyawannya terpapar covid

17 September : Melakukan pcr swab yang pertama. Difasilitasi oleh PKM setempat. Indera penciuman dan perasa mulai samar kembali fungsinya.Sejak Swab ga pernah kemana2 lagi. Sadar diri kalo ada yg aneh. Sabar nunggu hasil.

20 September : Indera penciuman dan perasa sdh kembali normal. Sudah bisa masak kembali.

21 September : Hasil keluar. Positif. Langsung isolasi mandiri di kamar lt. 2. Turun hanya pagi hari untuk ke toilet. Gejala sudah hampir tidak ada. Tinggal atur psikologis keluarga yg shock.

22 September : Suami melakukan swab mandiri

23 September : Anak-anak dan papa melakukan swab difasilitasi oleh PKM setempat

24 September : Suami negatif. Alhamdulillah. Dikunjungi oleh Puskesmas setempat untuk didata dan diberikan multivitamin. Karena saya tidak ada gejala serius, jadi tidak diberikan obat.

25 September : Anak-anak dan papa negatif. Alhamdulillah

29 September : Swab kedua. Dilakukan secara mandiri, karena sudah tak ada fasilitasi lagi dari PKM.

1 Oktober : Hasil swab kedua masih dinyatakan positif. Telekonsul dgn dokter paru, dinyatakan sudah sembuh, tidak akan menulari walaupun masih positif. Namun saya tetap ndak mau gegabah walaupun sudah diperbolehkan untuk beraktivitas biasa dirumah. Saya tetap isolasi mandiri hingga genap 14 hari

5 Oktober : Genap 14 hari isolasi sejak hasil swab pertama keluar. Dinyatakan selesai dan dapat beraktivitas biasa lagi tanpa mengabaikan protokol kesehatan. Alhamdulillah…

Now, If you ask me how I get that virus, I don’t know. Ga jelas.

Kena dimana ? Ga tau.

Emang saya kemana aja? Keluar rumah itu hanya kalau harus belanja kebutuhan rumah dan mengumpulkan tugas ke sekolah anak yang paling kecil. Seminggu sekali.

Emangnya kalo abis dari mana-mana ga langsung cuci tangan, ga langsung mandi, ga langsung ganti baju ? You name it. I’ve done this and that.

Apakah saya mengalami gejala-gejala khas-nya si virus ? Demam engga. Batuk engga. Radang tenggorokan engga. Kecapean ? Ndak tau, soale perempuan tuh suka ga dirasa kalo cape cuma sedikit doang. Ogah dibilang manja kan 🤭 Plus saat itu saya sedang jadwalnya mau datang bulan. Jadi lemes-lemes biasa tuh yaaa.. ndak dirasa 🤭

Trus kenapa rapid dan swab? Banyak banget yang bilang, “padahal kalo ndak swab dengan ndak ada gejala kan jadi ndak repot. Toh kita ndak sesek napas, ndak gawat, ndak perlu dirawat… Kalo ketauan positif malah jadi ribet. Harus isolasi, digosipin tetangga, ndak bisa urusin rumah. Malah kacau balau…” Hmmmm… Saya punya tanggung jawab. Itu aja. Pernah denger ndak misal temen cerita anaknya sakit terus bilang, “lebih baik aku aja yang sakit daripada anakku” atau “andai sakitnya anakku bisa dituker ke badanku aja” ? Ini juga terjadi sama saya. Lebih baik saya yang kena daripada keluarga saya,terutama bapak saya yang sudah lansia dan punya penyakit bawaan. Saya akan lebih bisa mengukur kekuatan diri sendiri, seberapa kuat saya mampu melawan ini semua.

Kenapa memutuskan rapid dan swab ? Ya itu, daripada saya bodo amat yang ternyata saya bisa menularkan sama orang-orang tanpa sengaja, apakah saya tidak dzalim ? Padahal saya sadar sudah merasakan salah satu ciri si virus ada di dalam tubuh saya 😊

Apa tanggapan orang rumah saat saya dinyatakan positif ? Jelas shock. Terutama suami. Karena dia tau aktifitas saya hanya di rumah. Jarang keluar. Yang lebih mobile adalah dia. Plus di tempat kerjanya juga saat itu sedang banyak yang kena. Jelas dia panik. Takut dialah yang selama ini OTG dan menularkan kepada kami yang dirumah. Alhamdulillah nya hasil swab keluarga saya negatif semua. Sehingga fokusnya hanya tertuju pada saya. Saya sendiri ketika hasil keluar ndak terlalu panik, malah saya merasa lega karena sudah melakukan langkah yang benar. Negatif atau positif itu hanya result. Hanya agak sedikit khawatir hingga hasil swab keluarga keluar.

Tanggapan tetangga ? Hahhaha… Saya ga terlalu peduli. Saya ngerti kalau tetangga heboh, bahkan sempet ada yang gosipin saya dijemput ambulans, padahal saya adem ayem di kamar. Bahkan saking hebohnya, ada tetangga yang sewaktu saya kecil sering mengasuh saya tiba-tiba nongol ke kamar, saking pengen membuktikan kalau saya baik-baik saja. Setelah itu, mungkin dia cerita sama orang-orang, hingga kehebohan tidak berlanjut.

Lalu kenapa bisa isolasi mandiri dirumah dan siapa yang mengurus ? Ketika hasil swab didapat, pihak puskesmas langsung memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus diisi mengenai keluhan yang ada saat ini, apakah ada ruang terpisah untuk isolasi, berapa jumlah kamar dan kamar mandi di rumah, ada berapa anggota keluarga, dsb. Berdasarkan data tersebut maka diputuskan saya bisa isolasi mandiri dirumah. Tanpa perlu dirawat di RS ataupun ke tempat isolasi pasien OTG. Orang yang bulak balik ke kamar hanya suami saja. Tetap bermasker, bersarung tangan dan jaga jarak. Alhamdulillah, punya anak-anak sudah gadis. Plus sekarang jaman modern. Tidak tatap muka,masih bisa video call, yekan… Sehingga kursus kilat memasak nasi pun bisa via video call. Urusan lauk pauk pun diserahkan pada babang ojolfood atau sesekali minta saudara masakin. Bahkan kiriman saudara dan teman-teman baik sangat banyak. Sehingga kami ndak kekurangan. Jazakillah khairan 🥺

Dibalik bersyukurnya saya, sesungguhnya saya sedih. Bagaimana bila hal ini menimpa orang-orang yang tidak mempunyai fasilitas seperti saya ? Bagaimana keluarganya ? Bagaimana makannya ? Sedangkan tetangga mau bantu aja sama susahnya. Atau bahkan di beberapa daerah ternyata masih ada yang mengucilkan dan menganggap mereka hina ? Ya Allah, semoga mereka selalu dilindungi olehNya, aamiin yra 🥺

Selama isolasi mandiri apa aja yang dilakukan ? Hal yang sangat mencolok adalah jam 8 malam kami semua sudah siap-siap tidur. Biasanya jam 10 aja anak-anak masih rame 😁 Saya tetap bangun subuh seperti biasa, melakukan aktifitas pagi layaknya seorang muslim. Lalu merendam cucian. Ya, saya mencuci baju sendiri selama isolasi. Cukerpak. Cuci kering pake. Hihihi. Lalu mandi, dhuha dan berjemur. Hari pertama isolasi sarapan dengan 2 buah nugget, saus sambal dan nasi bikinan si gadis yang ternyata salah takaran air, sehingga masih keras. Hahahaha, ya Allah, pengalaman banget kaya idup di penjara. Terkadang saya juga menggerakkan badan selama 1 jam, nonton konser Arashi, ikutin mereka joget. Hati senang, keringet dapet 😁 Selebihnya goleran, main hape, baca-baca. Udah gitu aja. Ndak mau membebani diri sendiri. Istirahat. Anggap cuti segalanya. Ndak usah inget masak. Ndak usah inget cucian. Ndak perlu inget ke pasar ataupun tugas si adek. Pokoke sing penting hepi.

Treatment selama isolasi ? Jujur, ketika awal merasakan gejala pun saya sudah melakukan treatment seolah-olah saya sudah positif. Karena saya pemakai essential oils (EO), jelas treatment yang dipakai adalah dengan EO. Saya tidak bisa bilang EO menyembuhkan ya, tapi saya bisa bilang EO adalah salah satu hal yang membantu saya melewati ini semua. Ada obat-obatan ? Tidak. Tambah vitamin ? Awal-awal tidak. Hanya digempur pure oles-oles EO dan diffuse EO andalan. Peppermint, all Eucalyptus, Copaiba, Thieves, Lemon, RDT oils, dll. Untuk emosinya, saya mengandalkan salah satu oil kesayangan saya, yaitu White Angelica. Supaya saya tetep waras dan tenang dalam situasi ini. Plus sari buah Ningxia Red untuk asupan good foodnya. Tapi di hari-hari akhir, saya akhirnya menambahkan vitamin C 1000mg perhari dan multivitamin tambahan hingga beberapa hari setelah selesai isolasi. Saya juga berjemur di bawah sinar matahari setiap hari di sekitar jam 9-10 pagi selama 15 menit.

Makanan bagaimana ? Yang jelas saya makan yang ada aja. Ndak minta 4 sehat 5 perfect. Yang penting ada sayurnya. Ndak mau repotin orang rumah karena rewel pengen makan ini itu.

Selama isolasi kangen apa ? Kangen dapur! Saya orang rumahan, jadi saat awal psbb pun buat saya ga masalah, malah enak jadi lebih hemat, hahaha. Tapi wilayah saya dirumah adalah kasur dan dapur. Ketika isolasi, wilayah saya hanya di kasur, otomatis saya kangen wilayah dapur. Kangen masak, cuci piring, nongkrong di beranda belakang sambil kumpul bareng keluarga. Itu aja. Cukup bikin saya tersiksa. Bagai kasih tak sampai. Tu dapur kliatan dari kamar tapi ga boleh kesana… 🥺

Nah, itulah cuti IRT saya tahun ini. Seru ndak ? 😅

Hari ini saya alhamdulillah sudah semakin membaik. Sudah aktifitas biasa lagi. Kasur dan dapur.

Di masa seperti ini, saya, kamu, kalian, mungkin saja bisa terkena si virus nackal ini. Dimana pun. Kapanpun. Bisa parah ataupun tidak.

Tetap jaga kesehatan, tetap lakukan protokol kesehatan.

Bila merasa ada yang aneh dengan diri tapi tidak sampai parah lebih baik saya sarankan langsung jaga jarak dengan orang rumah, minta pengertian mereka untuk bisa membiarkan kamu istirahat hingga 10 hari. Anggap kita positif walaupun tanpa melakukan pcr swab (tau sendiri kan kalau swab mandiri biayanya berapaaaa). Setidaknya kamu menyelamatkan nyawamu sendiri dan nyawa orang lain dalam hal ini.

Satu hal yang bisa saya petik dari semua ini adalah bahwa betapa berharganya kesehatan diri sendiri. Apalagi bila ini mengancam diri dan keluarga. Saya merasa sudah mempertaruhkan nyawa demi keluarga. Lebay ? Gpp. Saya mah orangnya gitu 🤭

Membangun suasana hati atau psikologis pun sangat dibutuhkan pada saat seperti ini. Plis, jangan membuat pasien merasa terhina, disalahkan bahkan dikucilkan. Apalagi kalau kasusnya seperti saya yang bisa dibilang tidak mobile sehingga ketika si virus nemplok, saya ga tau ktemunya dimana sama si dia. Ga usah menginterogasi seolah-olah ketauan selingkuh sama gebetan. Ketemuan dimana, sama siapa. Iya kalo bener, lha kalo kaya saya, yang ketemunya cuma ama sutil, panci dan wajan di dapur, mau nyalahin siapa ?

Saran saya, tolong dukung saja, kasih kata-kata positif yang membuat dia hepi. Seperti saat saya ngaca terus ngedumel, “bunda gendut lagi ya ay gara-gara isolasi, makan tidur makan tidur…” Sang bango bojo pun hanya memeluk saya sambil bilang, “biarin, yang penting bunda sehat lagi. makasih ya udah berjuang 14 hari ini” lalu dia mendaratkan kecupan di jidat nonong saya… Hampir saja saya menangis, tapi saya gengsi 😂

Sekian post panjang saya kali ini… Agak bermutu dikit lah ya bahasannya. Ga mau lah bahas-bahas soal apa yang saya dapat dari layanan pemerintah selama saya isolasi. Wes, ra sah dibahas. Wes bersyukur bisa sehat lagi. Negara wes repot ngurusi sing liyane. Aku koar-koar ya ra bakal digagas 🤭

Please stay safe, happy and healthy ya semuanya…

Menik mau ke dapur lagi.

Pareng…

Satu hal yang pasti di dunia ini adalah semua berjalan atas kehendakNya.

Qadarullah.

Kita hanya bisa menerima sambil berikhtiar untuk bisa survive

Contact me : jermaniar@gmail.com

Find me on Instagram @houseofseiyu

Tinggalkan komentar